BJ Habibie – Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, atau yang lebih dikenal sebagai BJ Habibie, merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Lahir pada 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan, Habibie adalah sosok yang dikenal karena kejeniusannya di bidang teknologi, terutama dalam dunia penerbangan, serta peran pentingnya sebagai Presiden ketiga Republik Indonesia. Habibie tidak hanya dihormati sebagai seorang teknokrat, tetapi juga sebagai pemimpin yang membawa Indonesia melewati masa-masa krisis dengan bijaksana.
Masa Kecil dan Pendidikan BJ Habibie
Habibie lahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie, seorang ahli pertanian, dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo, seorang ibu rumah tangga berdarah Jawa. Sejak kecil, Habibie telah menunjukkan minat yang besar dalam bidang sains dan teknologi. Ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan memiliki ketertarikan pada ilmu pengetahuan, terutama fisika dan matematika.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Makassar, Habibie melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, hasratnya yang besar untuk menimba ilmu lebih dalam membawanya ke Jerman Barat pada tahun 1955, dengan beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di Jerman, ia belajar teknik penerbangan di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen, salah satu institusi teknik terkemuka di dunia.
Habibie berhasil meraih gelar Diploma Ing. (Diplom Ingenieur) dengan predikat cum laude pada tahun 1960. Tidak puas dengan pencapaian tersebut, ia melanjutkan studi doktoral di universitas yang sama dan meraih gelar Doktor Ingenieur (Dr. Ing.) pada tahun 1965 dengan disertasi yang membahas tentang konstruksi sayap pesawat yang ringan namun kuat. Karya ini kemudian menjadi dasar dalam pengembangan teknologi penerbangan di masa mendatang.
Karier dan Kontribusi di Dunia Teknologi
Setelah menyelesaikan pendidikan di Jerman, Habibie bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), sebuah perusahaan penerbangan terkemuka di Jerman. Di sana, ia terlibat dalam berbagai proyek pengembangan pesawat, termasuk proyek pesawat tempur dan pesawat sipil. Salah satu kontribusi terbesar Habibie adalah konsep “crack propagation” yang mempelajari cara retakan menyebar di material pesawat. Penelitiannya ini memiliki dampak besar dalam dunia penerbangan, terutama dalam meningkatkan keamanan dan efisiensi pesawat.
Pada tahun 1974, atas permintaan Presiden Soeharto, Habibie kembali ke Indonesia untuk membantu membangun industri teknologi di tanah air. Ia diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi serta Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dalam posisinya ini, Habibie mendorong pengembangan industri strategis nasional, termasuk industri pesawat terbang, kapal, dan telekomunikasi.
BJ Habibie kemudian mendirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, yang kemudian dikenal sebagai PT Dirgantara Indonesia (DI). Di bawah kepemimpinannya, PT DI berhasil memproduksi pesawat pertama buatan Indonesia, yaitu CN-235, sebuah pesawat angkut ringan yang digunakan untuk keperluan sipil dan militer. Habibie juga berperan penting dalam pengembangan pesawat N-250, pesawat turboprop pertama buatan Indonesia yang dirancang dengan teknologi fly-by-wire, sebuah teknologi canggih yang hanya dimiliki oleh segelintir negara di dunia saat itu.
Kisah Cinta Sejati BJ Habibie
Kisah cinta BJ Habibie dan Hasri Ainun Besari adalah salah satu cerita yang paling menyentuh hati di Indonesia. Kisah ini bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang kesetiaan, pengorbanan, dan dukungan tanpa batas antara dua individu yang saling melengkapi sepanjang hidup mereka.
Pertemuan dan Awal Cinta
BJ Habibie dan Ainun pertama kali bertemu saat mereka masih remaja. Mereka sebenarnya sudah saling kenal sejak kecil karena keduanya berasal dari keluarga yang berhubungan dekat. Habibie, yang saat itu masih di bangku sekolah, sudah mulai menaruh hati pada Ainun, namun hubungan mereka tidak langsung berkembang menjadi asmara. Setelah lulus SMA, jalan hidup memisahkan mereka; Habibie melanjutkan studi ke Jerman untuk belajar teknik penerbangan, sementara Ainun menjadi seorang dokter di Indonesia.
Cinta mereka mulai tumbuh ketika Habibie kembali ke Indonesia setelah beberapa tahun menuntut ilmu di luar negeri. Pada saat itulah, perasaan mereka berkembang lebih dalam. Habibie sering kali menyebut Ainun sebagai “gula Jawa” karena kecantikan dan kulit sawo matangnya, sebuah panggilan sayang yang menunjukkan betapa ia mengagumi Ainun. Ainun, di sisi lain, melihat Habibie sebagai pria yang cerdas, ambisius, dan penuh kasih.
Pernikahan dan Kehidupan Bersama
Pada tanggal 12 Mei 1962, Habibie dan Ainun menikah. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan hidup mereka yang penuh dengan tantangan dan kebahagiaan. Tidak lama setelah menikah, Habibie membawa Ainun bersamanya ke Jerman, di mana ia melanjutkan kariernya di bidang penerbangan.
Di Jerman, mereka hidup dalam kesederhanaan. BJ Habibie bekerja keras siang dan malam untuk mengejar kariernya, sementara Ainun menjalani peran sebagai istri yang mendukung dan merawat keluarga mereka. Meskipun jauh dari tanah air dan hidup dalam kondisi yang tidak selalu mudah, Ainun selalu setia mendampingi Habibie. Ia tidak hanya menjadi istri, tetapi juga sahabat, pendengar setia, dan sumber kekuatan bagi Habibie.
Kisah cinta mereka bukan hanya tentang romansa, tetapi juga tentang kerja sama dan saling mendukung. Ainun memberikan dukungan moral yang luar biasa kepada Habibie dalam setiap langkah kariernya. Ketika Habibie menghadapi tantangan berat dalam pekerjaannya, Ainun selalu ada untuk memberikan semangat dan dorongan.
Kembali ke Indonesia dan Puncak Karier
Setelah lebih dari satu dekade di Jerman, Habibie dan Ainun kembali ke Indonesia pada tahun 1974, ketika Habibie diminta oleh Presiden Soeharto untuk mengembangkan industri teknologi di Indonesia. Ainun kembali mendampingi Habibie dalam perannya sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi serta kemudian sebagai Wakil Presiden dan akhirnya Presiden Republik Indonesia.
Di tengah kesibukan Habibie dalam karier politik dan teknologinya, Ainun tetap menjadi figur sentral dalam kehidupan pribadi dan keluarganya. Ia mengelola rumah tangga dan membesarkan kedua putra mereka, Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie, dengan penuh kasih sayang. Ainun juga dikenal sebagai sosok yang hangat dan rendah hati, yang selalu mendukung Habibie di setiap fase kehidupannya.
Cinta dalam Sakit dan Akhir Hayat
Cinta mereka diuji ketika Ainun didiagnosis menderita kanker ovarium pada tahun 2010. Habibie, yang selalu menggambarkan Ainun sebagai bagian terpenting dalam hidupnya, sangat terpukul oleh kabar ini. Namun, ia tidak pernah meninggalkan sisi Ainun. Mereka pergi ke Jerman untuk mendapatkan perawatan medis terbaik. Selama perawatan Ainun, Habibie selalu berada di sisinya, menunjukkan cinta dan kesetiaan yang tiada henti.
Sayangnya, pada tanggal 22 Mei 2010, Ainun menghembuskan napas terakhirnya di sebuah rumah sakit di Jerman. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi Habibie. Dalam berbagai kesempatan, Habibie sering mengatakan bahwa Ainun adalah belahan jiwanya, dan kepergiannya meninggalkan kekosongan yang tidak pernah bisa terisi.
Setelah Ainun wafat, Habibie menulis buku berjudul “Habibie & Ainun” sebagai bentuk penghormatan dan kenangan akan cinta mereka yang luar biasa. Buku ini menceritakan tentang perjalanan cinta mereka, dari awal pertemuan hingga masa-masa sulit ketika Ainun sakit. Kisah ini kemudian diadaptasi menjadi film layar lebar yang sangat populer di Indonesia, menggambarkan betapa dalamnya cinta Habibie kepada Ainun.
Warisan Cinta yang Abadi
Cinta BJ Habibie dan Ainun tidak hanya menjadi inspirasi bagi keluarga mereka, tetapi juga bagi banyak orang di Indonesia dan dunia. Kisah mereka menunjukkan bahwa cinta sejati bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang pengorbanan, kesetiaan, dan dukungan tanpa syarat. Hingga akhir hayatnya, Habibie tetap menyimpan kenangan akan Ainun dalam hatinya, dan ia selalu merindukan kehadiran istrinya yang tercinta.
Warisan cinta mereka menjadi contoh bahwa hubungan yang dibangun atas dasar saling pengertian, dukungan, dan kasih sayang bisa bertahan melewati berbagai rintangan. BJ Habibie dan Ainun adalah bukti nyata bahwa cinta sejati tidak akan pernah pudar, bahkan setelah salah satu dari mereka meninggalkan dunia ini.
Menjadi Presiden Republik Indonesia
BJ Habibie diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia pada Maret 1998, menggantikan Try Sutrisno. Pada saat itu, Indonesia sedang berada dalam situasi krisis ekonomi yang parah, dengan berbagai gejolak politik dan sosial yang mengguncang negara. Ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, Habibie, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden, diangkat menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia.
Masa kepresidenan Habibie adalah salah satu periode paling kritis dalam sejarah Indonesia. Ia harus memimpin negara yang sedang mengalami krisis ekonomi terbesar sejak kemerdekaan, dengan nilai rupiah yang jatuh drastis, tingkat inflasi yang tinggi, dan ketidakstabilan politik yang meluas. Habibie mengambil langkah-langkah cepat untuk menstabilkan perekonomian, termasuk merestrukturisasi perbankan dan memperkenalkan reformasi ekonomi yang didukung oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
Di bidang politik, Habibie juga melakukan reformasi besar-besaran. Ia memperkenalkan undang-undang baru yang memberikan kebebasan pers dan berpendapat, serta menghapuskan dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang selama ini memberikan peran ganda kepada militer dalam pemerintahan. Habibie juga membuka jalan bagi pemilu yang lebih demokratis dengan mengesahkan undang-undang tentang otonomi daerah dan partai politik, serta menyelenggarakan pemilu pertama yang bebas dan adil pada tahun 1999.
Namun, salah satu keputusan paling kontroversial yang dibuat oleh Habibie adalah memberikan referendum kepada Timor Timur (sekarang Timor Leste) untuk menentukan nasib mereka, apakah tetap menjadi bagian dari Indonesia atau merdeka. Referendum ini menghasilkan keputusan mayoritas rakyat Timor Timur untuk merdeka, yang kemudian menimbulkan ketegangan di Indonesia. Meski demikian, langkah ini dianggap sebagai salah satu bentuk penghormatan Habibie terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.
Kehidupan Setelah Kepresidenan
Setelah menyerahkan kekuasaan kepada Abdurrahman Wahid pada Oktober 1999, Habibie memilih untuk mundur dari dunia politik dan kembali ke kehidupan akademis serta sosial. Ia banyak berkontribusi melalui yayasan yang didirikannya, The Habibie Center, yang berfokus pada pengembangan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebijakan publik di Indonesia.
Habibie juga tetap aktif dalam mempromosikan kemajuan teknologi di Indonesia. Ia terus memberikan masukan kepada pemerintah dan berbagi pengalaman serta pengetahuannya kepada generasi muda melalui berbagai seminar, kuliah umum, dan publikasi ilmiah.
Akhir Hayat Sang Visioner Teknologi
BJ Habibie wafat pada 11 September 2019 di Jakarta pada usia 83 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi seluruh bangsa Indonesia. Ia dikenang sebagai seorang jenius teknologi, pemimpin yang bijaksana, dan sosok suami yang penuh kasih.
Warisan terbesar Habibie adalah kontribusinya dalam membangun industri teknologi di Indonesia dan perjuangannya untuk demokrasi. Nama BJ Habibie akan selalu diingat sebagai salah satu putra terbaik bangsa, yang dedikasinya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan akan terus menginspirasi generasi mendatang.